Senin, 22 Maret 2010

JUJUR JAK BE….

Demikian ujar teman, saat salah seorang teman lainnya menyampaikan keinginan untuk menjadi bagian dari pemasaran sebuah Harian “baru”. Singkat memang, namun mau tak mau kita harus mengakui bahwa kejujuran adalah modal untuk membuat orang lain percaya kepada kita. Tak hanya dalam usaha, dalam keseharianpun sifat jujur harus kita tanamkan sedalam-dalamnya dalam benak kita masing-masing.

Tatkala berbicara, hendaknya yang kita sampaikan adalah sesuatu yang benar adanya. Tatkala kita membaca, kita harus jujur bahwa tak ada lagi yang kita fikirkan kecuali apa-apa yang kita baca. Tatkala berjanji, kita juga harus jujur untuk bisa ataupun tidak menepati janji tersebut. Tatkala kita diberikan amanah, kita harus dengan jujur melaksanakan amanah tersebut.

Bukan perkara mudah memang. Kejujuran terkadang hanya dimiliki oleh orang tertentu dan pada waktu tertentu. Orang tertentu, karena tak semua orang bisa bicara atau berlaku jujur. Kita sering mendengar orang berkata A, padahal yang dilakukan atau yang terjadi adalah B. Sering juga kita mendengar orang berjanji ini itu jika ia menjadi Z, namun tatkala nyata, ia terkadang melupakan perkataan yang pernah ia sampaikan. Kejujuran hanya pada waktu tertentu, memang ada. Tatkala seseorang dihadapkan pada sebuah persoalan yang jika jujur ia kena, tak jujur juga kena, maka ia memilih jujur, dengan harapan nama terdengar harum.

Jujur memang hanya kata yang terdiri dari huruf. Namun kata ini menjadi sakti tatkala manusia banyak meninggalkannya. Betapa sulit kita mencari orang-orang jujur di negeri ini. Saat masih di bawah, banyak yang berkata berdasarkan fakta. Namun, tatkala berada sedikit di atas, orang mulai sering melupakan budaya manusia modern tersebut. Betapa banyak orang yang “bermasalah” karena ketidak jujuran. Mulai dari mereka yang berada pada jajaran Pejabat hingga pedagang dan pemulung.

Kenapa kita harus jujur? Kita acapkali mendengar orang tua menasehati anak supaya harus menjadi orang yang jujur. Dalam mendidik dan memotivasi supaya seorang anak menjadi orang yang jujur, kerap kali dikemukakan bahwa menjadi orang jujur itu sangat baik, akan dipercaya orang, akan disayang orang tua, dan bahkan mungkin sering dikatakan bahwa kalau jujur akan disayang/dikasihi oleh Tuhan. Tapi setelah mencoba merenungkan dan menyelami permasalahan kejujuran ini, saya yakin kejujuran hanya akan dapat difahami jika kita berusaha untuk selalu berlaku jujur.

Jujur adalah saham yang ditanam yang akan menghasilkan timbal balik yang jauh lebih menguntungkan dari segi apapun, baik itu keberhasilan usaha kita didunia, maupun kehidupan kita diakherat kelak, demikian ungkap Kasnadi. Ya, kejujuran apapun yang kita lakukan saat ini bukan berarti tanpa hasil. Meski kini, menjadi orang yang jujur adalah sebuah pilihan tepat tapi beresiko, namun yang kita harapkan dengan kejujuran kita adalah anak-cucu kita bisa memimpin dengan sebuah kata sakti bernama kejujuran.
Sungguh lucu tatkala membaca berita di beberapa media negeri ini. Bagaimana seorang Amien Rais yang berkata jujur telah menerima “dana tak jelas”, dikatakan punya motif-motif tertentu. Sungguh sebuah pemandangan tak jujur terhadap diri sendiri. Harusnya kita akui perbuatan Amien Rais adalah upaya menjadi jujur, dan hati kita pasti berkata demikian. Namun, oleh karena satu dan lain hal, kita mencari-cari alasan untuk mentidak jujurkan kejujuran Amien tersebut.

Memang tak mudah menjadi manusia jujur, namun sebuah usaha keras untuk menjadi jujur yang dilakukan dengan niat ikhlas, merupakan sebuah kejujuran. Paling tidak jujur pada diri sendiri. Ada sebuah cerita menarik, yang saya kutip dari tulisan Ernes JK wen.
Pada sebuah negara entah berantah, Sang Raja sebagai pemimpin negara selalu menggunakan pakaian yang baru setiap harinya. Oleh sebab itu dimintalah para penenun baik yang ternama maupun yang ecek-eck dalam maupun luar negeri untuk membuat jubah bagi sang Raja.

Pada suatu hari, datang dua orang penipu yang mengaku memiliki keahlian menenun sekaligus menjahit jubah di atas rata-rata, maksudnya dengan kualitas yang sempurna, mengalahkan semua keindahan jubah koleksi sang Raja. Demi membuktikan pernyataan dua penipu tadi, raja memerintahkan rakyatnya untuk memenuhi semua yang diperlukan penipu, seperti alat tenun yang besar, benang-benang sutera dan benang-benag emas dalam jumlah banyak. Tidak hanya itu, mereka juga minta agar di sekeliling alat tenun dipasangi ratusan batang lilin sehingga keadaannya menjadi terang-benderang di malam hari. Kedua penipu itu memang hanya bekerja di malam hari saja. Dan mulailah kedua penipu itu beraksi. Mereka berpura-pura sedang melakukan kegiatan menenun tanpa menyangkutkan selembar benangpun. Orang-orang yang mengawasi kelakuan mereka menjadi heran. “Apa sih yang kalian berdua kerjakan? Hanya mutar-mutar, tidak kelihatan selembar benangpun yang jadi?” Tanya orang-orang keheranan.
“Ya. Itulah keistimewaan tenunan kami. Orang pandir dan orang yang tidak memiliki hati yang jujur tidak akan bisa melihat kain yang kami tenun. Hanya orang yang bijaksana dan jujur saja yang bisa melihatnya.” Demikian jawab kedua penipu itu setiap kali ada yang bertanya.

Cerita tentang kedua penenun dan kain tenunannya yang ajaib (tidak kasat mata) segera tersebar luas. Setiap orang yang mencoba membuktikan kalau dirinya bisa melihat kain yang sedang ditenun dengan giat oleh kedua penenun itu, menemukan kenyataan bahwa mereka tidak melihat apa-apa. Namun karena takut dibilang pandir atau tidak jujur, semua orang yang datang melihat mengaku dapat melihat keindahan kain yang sedang ditenun. Mereka meninggalkan tempat tenunan sambil memuji-muji keindahan kain yang sedang dikerjakan kedua penipu tersebut.

Suatu hari Kaisar mengutus Perdana Menterinya yang terkenal sangat pandai dan bijaksana untuk memeriksa hasil pekerjaan kedua penipu itu. Sang Perdana Menteri pun pergi melaksanakan tugasnya. Tiba di tempat di mana alat tenun itu ditempatnya, didapatinya kedua penipu itu sedang giat bekerja. Gerak-gerik keduanya seolah-olah sedang tekun menenun. “Bagaimana pekerjaan kalian sekarang?” Tanya Perdana Menteri.
Kedua penipu itu pura-pura terkejut dan buru-buru memberi hormat. “Kami hampir merampungkan pekerjaan kami. Seperti yang Tuan bisa saksikan sendiri, selembar kain sutera bersulam emas yang sangat indah. Ini, silakan Tuan periksa.” Kata salah satu penipu itu sambil seolah-olah mengangsurkan sesuatu kepada Perdana Menteri.

“Hm...” Perdana Menteri berpikir keras. Walaupun sadar tidak ada apa-apa di atas alat tenun, tetapi ia tidak ingin dikatakan pandir karena hanya orang bijaksana dan jujur saja yang dapat melihat keindahan kain tenunan ajaib tersebut. Akhirnya Perdana Menteri pun ikut berpura-pura bisa melihat dan dia berdecap-decap kagum. Setelah itu Perdana Menteri melapor kepada Kaisar bahwa kedua penenun dari negeri asing itu hampir selesai menenun selembar kain sutera berhiaskan benang-benang emas yang indah.

Selanjutnya Kaisar ingin menguji “kejujuran” menteri keuangannya yang terkenal sangat jujur. Lalu Menteri Keuangan itu dikirim ke tempat kedua penenun. Seperti halnya Perdana Menteri, Menkeu juga melihat kedua penenun itu sedang tekun bekerja. Gerak-gerik mereka seolah-olah sedang menenun namun tidak terlihat selembar benangpun pada tangan mereka ataupun pada alat tenun besar di hadapannya. “Bagaimana kemajuan pekerjaan kalian?” Tanya Menkeu dengan tegas.

“Ah, Tuan Menteri, terima kasih telah menyediakan uang untuk membeli benang sutera dan benang emas. Inilah hasil tenunan kami. Sangat luar biasa indah bukan?” Menkeu terdiam. Jika ia berterus-terang bahwa ia tidak melihat apapun pada alat tenunan itu, ia khawatir reputasinya sebagai orang paling jujur di seantero negeri akan hancur. Bukankah semua orang telah mengetahui hanya yang bijaksana dan jujur saja yang dapat melihat kain ajaib ini? “Ah...luar biasa indah!” Akhirnya Menkeu pun berpura-pura mengagumi.

Mendengar laporan kedua menterinya yang bijaksana dan jujur itu, Kaisar sangat gembira. Akhirnya dia menyuruh kedua penenun itu untuk membuatkan jubah dari kain tenunan mereka. Jubah tersebut akan dipakainya pada sebuah festival yang akan berlangsung beberapa hari lagi.

Ketika hari perayaan tiba, Kaisar memerintahkan agar jubah barunya diantarkan ke istana. Kedua penipu itu pun datang. Di atas tangan seolah-olah mereka membawa sebuah jubah dengan hati-hati. Tentu saja Kaisar tidak melihat apa-apa, namun ia pun tidak hendak dikatakan pandir dan tidak jujur, maka ia memuji-muji keindahan jubah buatan kedua penipu itu.

“Sekarang bukalah jubah lama Paduka Baginda, dan biarkan kami mengenakan kepada Baginda jubah indah ini.” Kaisar pun menanggalkan pakaiannya dan kedua penipu itu seolah-olah mengenakan jubah ke atas tubuhnya. “Bagaimana? Bukankah Baginda terlihat sangat gagah dengan jubah yang indah ini? Ah...tentu saja hanya yang bijaksana dan yang jujur saja yang dapat melihat keindahan jubah baru Baginda.” Kata salah satu penipu itu.

Semua yang hadir tidak ingin dikatakan tidak bijaksana ataupun tidak jujur semuanya mengakui dan pura-pura mengagumi keindahan jubah Kaisar. Akhirnya Kaisarpun melangkah ke balairung dengan hanya mengenakan pakaian dalamnya saja di mana semua orang yang mengikuti festival telah berkumpul menantikan kehadirannya. Seluruh isi negeri yang tidak ingin dikatakan tidak bijaksana dan tidak jujur mengelu-elukan Kaisarnya yang hampir telanjang dan pura-pura memuji-muji keindahan jubahnya.

Tetapi seorang bocah berumur 4 tahunan tiba-tiba maju ke depan sambil berteriak-teriak: “Kaisar nggak pake baju, Kaisar nggak pake baju!” Semua yang hadir terkesima, tidak ada seorang pun berani bersuara ataupun bergerak menanti reaksi sang Kaisar.

Cerita di atas menggambarkan ketidak beranian melihat suatu hal secara jujur. Hanya karena ingin disebut “yang bijaksana” atau “yang jujur” mereka takut mengatakan hal yang sebenarnya bijak dan jujur sebab takut dikatakan “beda”.

Lalu, bagaimana dengan kita saat ini?

Nasaruddin

Minggu, 21 Maret 2010

MAHASISWA DAN INDEPENDENSI


Mahasiswa dikenal sebagai “artis jalanan” (suka demo), membakar ban hingga asap membumbung hitam bak kebakaran, sering memacetkan jalan, serta berteriak-teriak di depan gedung yang kadang “kosong”, meki demikian, mereka memegang peranan penting dalam rangka mengawal proses demokrasi.

Sejarah telah mencatat betapa dibutuhkannya peran-peran mahasiswa pada beberapa dekade sebelum saat ini. Berbagai rezim di berbagai belahan bumi menjadi “korban” idealisme yang digusung oleh mereka, atas nama kepentingan dan kemashlahatan rakyat banyak. Di Indonesia, kisah pergantian kekuasaan negara diwarnai oleh gelombang besar gerakan mahasiswa hingga pelosok-pelosok desa, membahana dan memecah keambiguan demokrasi yang sudah dikekang oleh rezim yang berkuasa selama beberapa waktu. Gerakan mahasiswa menjadi gelombang gerakan sosial untuk melawan tirani yang menindas rakyat.

Pada sejarah runtuhnya kekuasaan Orde Lama (yang terkenal kental dengan paham nasakomnya) gerakan mahasiswa 60-an menjadi ujung tombak. Lalu pada 1998, mahasiswa pula yang menjadi pelopor lahirnya reformasi, pembaruan di segala lini kehidupan masyarakat Indonesia, ditandai dengan robohnya bangunan orde baru yang sentralistik.

Seorang mahasiswa, tugas utamanya adalah belajar. Belajar di manapun ia bisa dan belajar apa saja yang layak untuk dipelajari. Dengan peran yang sangat signifikan tersebut, mahasiswa hendaknya tak hanya sekedar bolak-balik kampus-kostan. Hendaknya seorang mahasiswa sensitive terhadap keadaan sosial yang memang tanggung jawabnya dan membuatnya khas dibanding yang lain. Kekhasan mahasiswa, sebagaimana disampaikan seorang ilmuan Edward Shill, ialah dikarenakan fungsinya yaitu: 1. mencipta dan menyebarkan kebudayaan tinggi, 2. menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa, 3. membina keberdayaan dan kebersamaan, 4. mempengaruhi perubahan sosial dan memainkan peran politik.

Melihat berbagai fenomena di atas, hendaknya kita selalu menemukan mahasiswa yang kritis, dan independen (terbebas dari kepentingan dan intervensi apapun). Kekritisan mahasiswa sangat-sangat diharapkan, tentunya untuk kepentingan masyarakat banyak. Bagaimana tatkala pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat, lalu mahasiswa diam membisu ? Tak ada kontrol sosial yang harus dilakukan (tanpa menafikan peran-peran selain mahasiswa tentunya). Atau tatkala kebijakan kampus yang terasa “menindas” mahasiswa, lalu mahasiswa hanya diam, apa jadinya.

“Itulah tugas mahasiswa di alam demokrasi” ungkap seorang teman. Memang, sebuah kritik yang kita sampaikan tak akan bisa diterima dengan lapang dada oleh orang lain, apalagi seorang pejabat. Banyak resiko yang dapat kita terima. Misalnya saja uang beasiswa ditahan, nilai tak keluar atau yang lebih sadis lagi ialah diburu atau bahkan mungkin dibunuh.

Bukanlah hal yang harus ditakutkan selama kita (mahasiswa) benar-benar menyatakan kebaikan dan kenyataan. Toh, telah banyak mahasiswa gugur demi kebenaran dan kemenangan rakyat, contohnya saja Arif Rahman Hakim yang gugur tatkala melakukan demonstrasi menentang masuknya modal asing ke Indonesia pada tahun 1970-an bersamaan dengan kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Atau Elang Mulya Lesmana yang gugur saat proses pergantian orde baru menuju reformasi, hingga Safaruddin, sosok Mahasiswa pahlawan reformasi lokal Kalimantan Barat.

Kritis itu harus, tetapi jangan sampai apa yang kita kritisi itu merupakan pesanan segelintir orang demi kepentingan perut yang sesaat. Saat ini, tak jarang kita lihat dan dengar mahasiswa yang menjadi orangnya si-ini atau orangnya si-itu seraya mengkritik pemerintah yang merupakan lawan “bos”nya. Tentunya hal ini menodai perjuangan mahasiswa pendahulu kita.

Jika berkaca pada sejarah, kita bisa menyaksikan betapa kecewa dan marahnya seorang Soe Hok Gie, tatkala menyaksikan teman-temannya sesama demonstran dan satu perjuangan melebur dalam kekuasaan dengan meninggalkan idealisme dan memilih masuk Golkar.

Mungkin jika dia masih berada di tengah-tengah kita, dia tak kalah geram menyaksikan mahasiswa yang terkadang tampak kritis, idealis dan berbagai/ is-is lainnya, ternyata lantang bersuara karena menjadi sapi pejabat yang menyuarakan aspirasi pejabat, bukan rakyat. Mereka terkadang lantang, karena perut yang telah kering kerontang.

Ada baiknya kita tilik lagi peran apa yang sebenarnya harus kita emban, jika kita telah menjadi hamba penguasa, lalu siapa lagi yang akan menyuarakan kepentingan rakyat? Peran dan fungsi mahasiswa harus kembali dipertegas. Mahasiswa harus mampu kritis dan mengambil peran untuk melakukan banyak perubahan terbaik untuk bangsanya. Ingat, mahasiswa adalah agent of change (agen perubah). Suara lantangnya sangat diharapkan kapan dan di manapun ia berada !

Nasaruddin